Coretan di
dinding membuat resah,
Resah hati
pencoret mungkin ingin tampil
Potongan lirik yang cukup mewakili kondisi saat ini.
Bagaimana tidak, coretan di dinding kekinian memiliki kekuatan hingga dapat
membawa si pencoret ke ranah hukum. Bukan tentang pasal perusakan bangunan dan
hak milik orang lain, tetapi tentang penghinaan ‘simbol negara’.
Sebuah mural raksasa bertuliskan Tuhan Kami Lapar dihapus lantaran telah viral. Jika dipahami pun, mural tersebut
tidak memiliki ataupun mempengaruhi pembacanya ke arah negatif. Wong cuman curhatan tangan gatel saja
kok. Tidak mengandung unsur memojokkan orang lain. Cuman mungkin karena momen
yang pas di tengah pandemi dan PPKM yang berjilid-jilid, sehingga banyak orang
yang ‘merasa’ terwakilkan dengan tulisan tersebut. Naah, sebelum orang-orang yang ‘merasa’ terwakilkan tersebut
mengambil tindakan, akhirnya yang ‘merasa’ harus mencegah turun tangan agar
orang yang merasa ‘terwakilkan’ tersebut tak bertindak lebih lanjut.
Curhatan lain yang lebih ngena adalah Dipaksa Sehat di
Negeri Yang Sakit. Sesuai memang dengan kondisi saat ini. Dimana kondisi
yang semakin carut-marut. Ekonomi kecil yang semakin menurun yang menyebabkan
banyak pengusaha kesulitan hingga kolaps. Banyak warga yang terpaksa merelakan
sanak keluarganya meninggal akibat covid. Hingga pewajiban vaksin yang semakin
menyentuh ranah yang kurang tepat. Bagaimana tidak, hampir semua yang
berhubungan dengan administrasi dipaksa melampirkan bukti vaksin yang notabene
nya tidak masuk kategori administrasi kesehatan.
Dan puncaknya, coretan yang paling mendekati keadaan
saat ini adalah sebuah mural dengan tulisan 404;
Server Not Found dengan berlatarkan gambar mirip pak presiden. Kalau ini
jelas bukan sebuah curhatan biasa, namun lebih dekat dengan kritik satire. Dimana rakyat yang telah bosan
diombang ambing dengan kepastian, tetapi yang bersangkutan tidak kunjung
memberi kepastian.
Jika dilihat dari sisi filosofi, karya adalah sebuah
mutiara yang tak ternilai harganya. Ia semakin bernilai jika mampu menyajikan
dan merangkum fenomena yang tengah terjadi. Apalagi jika karya tersebut
digunakan untuk mengkritik dan menyampaikan aspirasi sang pencipta.
Selama ini kita selalu mendengar pemerintah
menggaungkan kebebasan dalam mengkritik, tapi hingga saat ini sang pengkritik
selalu mendapat masalah selepas mengkritik. Entah itu ditegur, di buru, hingga
di penjara. Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah tak pernah sekalipun
menggaungkan cara mengkritik yang menurut mereka benar. Atau setidaknya
memberikan arahan berkala tentang cara mengkritik yang benar.
Jika memang pemerintah menginginkan dikritik yang
benar, setidaknya mereka memberi pola dan arahan bagaimana menyampaikan kritik
yang benar, bukan malah menghukum mereka
yang menyampaikan kritik dengan cara yang mereka anggap salah. Saya yakin jika
pemerintah serius dalam mengarahkan bagaimana cara mengkritik yang benar, para
pengkritik akan dengan senang hati mengikuti dan menggunakan cara tersebut. Dan
pada akhirnya, demokrasi yang selama ini digaungkan tepat sasaran dan dapat
dinikmati semua orang.
Selama ini pemerintah memperlakukan kritik sama
dengan memperlakukan narkoba, mereka selalu menyebut pengguna narkoba sebagai
penyalah guna narkoba, tetapi hingga sekarang pun mereka tak pernah memberi
arahan bagaimana menggunakan narkoba yang tepat.