Hal pertama yang terpikir ketika aku mendegar
Lagu Rantau adalah; Lah kok cocok ning uripku!
Sebagai perantau yang meninggalkan kampung
halaman mengadu nasib di Surabaya, rasanya semua yang tertulis di Lagu Rantau
sesuai 100 persen. Bagaimana tidak, semua koreng koreng perantau di ceritakan
di sini.
Pertama kali mendengar lagu ini sekitar tahun
2018, dimana ketika itu keyakinan untuk melanjutkan kisah perantauan telah
mencapai titik nadir.
Ya! Aku ingin pulang.
Di tahun ini, semua yang ditakutkan para perantau
terjadi dan memukulku secara kejam. PHK, hutang menumpuk, kurang makan, tak
punya tempat tinggal, semua terjadi dan semakin memantapkan niat untuk PULANG.
Tapi ada sebuah kisah menyentuh yang menggugurkan
niatku untuk pulang.
Flashback
Awal merantau
Pertengahan tahun 2013, sesaat setelah
menyelesaikan ujian kelulusan SMK, aku mendapat tawaran untuk bekerja di salah
satu perusahaan swasta di Surabaya. Tanpa ba bi bu langsung ku terima
saja.
Hari hari berlalu, sebulan dua bulan telah
lewat. Hidup mulai nyaman di Surabaya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk
kuliah sambil kerja.
Awal kuliah
Di tahun 2014 aku mulai kuliah di salah satu
universitas swasta kebanggaan rakyat (katanya). Aku berkuliah di UNITOMO
yang terletak di jalan Semolowaru.
Memilih kampus ini pun tak ada pertimbangan
khusus, tak ada riset atau rekomendasi dari orang lain tetapi murni atas dasar
cinta pada pandangan pertama.
Pertama kali masuk gerbang kampus aku langsung
bisa menemukan ‘masa depanku’ di kampus ini. Hahaha
Ya, mungkin sangat ngawur perihal pemilihan
kampus, tapi tak ada yang aku sesali dari keputusan itu. Aku sangat menikmati
kuliah disini. Tapi mungkin di masa depan aku tak akan melakukan ke-ngawuran
seperti ini lagi.
Singkat cerita dimulailah kisah kuliah sambil
kerja ku.
Jujur, kuliah sambil kerja sangatlah berat.
Banyak yang harus dikorbankan. Apalagi pekerjaanku di perusahaan terbilang
membutuhkan ketahanan fisik ekstra. Bukan hanya duduk di meja sambil ketik ini
ketik itu.
Kadang kala tugas kuliah dikerjakan sambil
mengoperasikan mesin. Kadang juga teman kerja bantu ini itu sebisa mereka.
Untungnya teman kerjaku sangat mendukung saat itu.
Kurang tidur sudah menjadi hal yang wajar.
Tidur 5 jam sehari sudah menjadi hal yang mewah. Selebihnya mungkin hanya 3
jam.
Tapi dari sini aku belajar efektif dalam mengatur
waktu. Belajar memilah mana prioritas mana yang harus ditunda. Dan yang paling
penting, belajar menghargai teman yang telah membantu perjuanganku.
Ketika semuanya telah berjalan baik dan nyaman, tiba tiba datang waktu yang menyedihkan. PHK besar besaran menimpa sebagian besar karyawan, dan aku salah satu orang yang terkena PHK.
Perjuangan dimulai
Awal tahun 2017 aku terpaksa harus pontang
panting mencari pekerjaan baru. Sementara hari terus berlanjut, kebutuhan hidup
semakin menuntut, tetapi pemasukan masih keriput.
Bahkan yang terparah adalah momen ketika
sebungkus indomie harus dipotong menjadi 2, untuk dimasak siang dan untuk
dimasak malam. Di saat itu, aku sudah tak perduli lagi dengan asupan gizi
harian. Yang terpenting perut bisa terisi untuk berjuang esoknya lagi.
Sialnya lagi, aku terpaksa meninggalkan kost
karena tak mampu lagi membayar sewa bulanan. Terpaksa aku tidur di kantor sekretariat
BEM fakultas. Lumayan fasilitasnya cukup lengkap. Ada perlengkapan memasak dan
saluran listrik. Untuk bahan yang dimasak aku meminta sukarela dari teman
mahasiswa lainnya. Entah mereka membawakan beras, minyak goreng, mie instan,
atau ikan asin. Se-mau mereka saja!
Di masa inilah muncul niat untuk pulang. Aku
sudah tidak sanggup hidup di Surabaya.
Ketika niat itu muncul, tak disangka muncul
seorang teman yang mengajakku berjuang bersama lagi. Dia mengajakku tinggal
dirumahnya, memberi makanan yang layak, dan mengantarkanku mencari pekerjaan. Mulai
dari sini kehidupanku di perantauan sedikit demi sedikit mulai stabil lagi.
Mulai bangkit lagi
Singkat cerita aku diterima bekerja di salah
satu restoran mewah di Surabaya. Aku bekerja sebagai anak dapur. Cuci piring,
potong sayur, goreng lauk, hingga plating. Cukup menyenangkan bekerja disini.
Lingkungan kerja yang tebentuk sangat kekeluargaan. Tapi ketika sudah berurusan
dengan pekerjaan, semua menjadi serius. Bahkan kesalahan plating bisa berakibat
piring melayang dilempar oleh chef.
Jika kalian pernah menonton Gordon Ramsey
ketika memandu acara memasak, ya seperti itu kondisi kita ketika di dapur.
Aku bertahan 3 bulan di sini. Setelah lebaran
2017 aku memutuskan untuk resign karena keperluan KKN. Semua orang menyayangkan
keputusanku, karena bulan itu harusnya aku naik jabatan. Tapi tak mungkin juga
aku membatalkan KKN.
Bulan agustus aku berangkat KKN ke Pasuruan.
Tempat kegiatanku di kecamatan Nongkojajar, terletak di kaki gunung Bromo. Bisa
dibayangkan cuacanya?
Ada kisah menarik dari KKN ini, di sini aku
menemukan orang yang kelak akan menjadi istriku. Tak usah diceritakan ya.
Hahaha
Jatuh sekali lagi
Pulang dari KKN aku bingung lagi. Uang sudah
habis sementara tidak ada pekerjaan. Tak menunggu waktu lama aku langsung
menyebar surat lamaran kemana saja yang penting ada. Job fair, info loker di
Koran, tanya teman, semua sudah aku usahakan. Tapi masih saja belum ada panggilan.
Tidak sengaja aku menemukan informasi tentang
sebuah marketing property yang membutuhkan tim penjualan. Tak ada syarat
khusus, ya langsung saja aku lamar dan ternyata di terima.
Tapi semua tak sesuai ekspetasi. Tiga bulan
bekerja di sini aku tak menghasilkan uang sepeserpun. Karena system kerjanya
adalah bagi komisi jika berhasil menjual property.
Sambil bekerja di sini, aku mulai mencari
pekerjaan lain. Aku menyebar lamaran ke beberapa sekolah swasta.
Tak ada yang dapat diunggulkan dari surat lamaranku.
Wong ijazah cuman lulusan SMK Pemesinan kok. Tapi di bagian paling bawah selalu
aku beri informasi tambahan jika sedang berkuliah di salah satu kampus swasta
dan sebentar lagi menyelesaikan pendidikanku.
Tak di sangka tak di duga, ada sebuah sekolah
swasta yang menerima lamaranku. Entah apa yang sebenarnya menjadi bahan
pertimbangan kala itu, wong jika dihitung pun guru dan karyawannya sudah cukup
banyak. Tapi mungkin keajaiban tuhan yang membuat mereka melirik surat
lamaranku.
Awal mulai menjadi guru
Singkat cerita aku bekerja di SD Gracia
Surabaya. Awal bekerja aku menjadi guru mapel bahasa inggris, sesuai dengan
pendidikanku. Tapi lama kelamaan aku dialih fungsikan menjadi walikelas. Menyenangkan
sih, tapi cukup menyedihkan. Enam bulan sebagai walikelas, aku membuat kekacauan.
Karena tak terlalu faham dengan administrasi
kelas, semuanya menjadi kacau. Walimurid marah karena nilai anak-anaknya
berantakan. Jadi, ya cukup menguras tenaga dan mental sih.
Di semester berikutnya semua sudah terkendali.
Peranku sebagai walikelas semakin bagus. Bahkan mayoritas walimurid
menyampaikan itu ketika momen pembagian rapor.
Masa kini
Sekarang semuanya telah membaik
Di tahun ini, tercatat sudah 4 tahun aku
bekerja sebagai guru. Suka duka menjadi guru sudah cukup membuatku puas. Kehidupanku
di Surabaya semakin stabil. Apalagi setelah aku meminang seseorang yang aku
temui di KKN. Aku semakin semangat menjalani hari di perantauan.
Pelajaran berharga dari merantau
Ada beberapa hal menarik yang aku pelajari selama merantau.
Yang pertama adalah manajemen waktu dan uang. Kita tidak
pernah bisa memprediksi kebutuhan yang serba mendadak. Sebelum itu terjadi
lebih baik atur waktu dan uang kalian sebaik mungkin.
Yang kedua menghargai teman. Tak di pungkiri,
teman adalah penyelamat ketika di perantauan. Mereka datang untuk membantu kita
melewati setiap masa sulit kala diperantauan. Walaupun kadang kala kita
menjumpai teman yang sebaliknya, tetapi niscaya kita dapat membedakan teman
baik dan teman jahat.
Yang ketiga adalah menghargai diri sendiri.
Setiap orang diciptakan kuat dan adaptif dalam kondisi apapun. Aku harus
berterima kasih kepada diriku sendiri karena mampu bertahan dalam setiap
kondisi menyedihkan di perantauan.
Baca juga: makna pembangunan yang menghancurkan pada lagu