Ingin tulisan kamu menghasilkan uang? Klik link inik

Silampukau dan Nyanyian Semerdu Kepodang dari Surabaya



Silampukau, sebuah grup musik Indie folk asal kota pahlawan Surabaya yang telah berkarir sejak tahun 2009. Secara konsisten mereka mengangkat tema kota Surabaya kedalam lagu lagunya. Dari  hal remeh temeh yang terjadi di sekitar mereka hingga permasalahan sosial budaya yang terjadi di kota terbesar kedua di Indonesia itu.

Tak melulu soal Surabaya, tema yang lebih luas pun tak lepas dari gubahan lirik mereka. Tema percintaan khas anak muda urban, pengalaman lucu, hingga kisah kisah menarik berhasil mereka rekam dalam bentuk lagu sendu dengan ciri khas lirik sederhana namun mempunyai makna mendalam.

Disini kita akan bahas lengkap tentang Silampukau, band indie folk asal Surabaya.

Sejarah awal

Pada jaman dahulu, masyarakat melayu menyebut burung silampukau sebagai biduan alam raya. Tak mengherankan karena suaranya semerdu penghibur alam raya. Kini kita mengenal burung tersebut sebagai burung kepodang.

Silampukau resmi terbentuk pada tahun 2009 dengan duo personel Eki Trisnowening dan Kharis Junandaru yang sama sama sebagai vokal dan pemain gitar. Mereka dipertemukan atas sebuah kesamaan tujuan yaitu mendirikan sebuah grup musik folk.

Pada awalnya, Kharis merupakan punggawa dari beberapa band termasuk sebuah band keroncong Miniboyo Concours. Seiring berjalannya  waktu, band yang digawangi Kharis mengalami kebuntuan. Tidak mau kehilangan karir bermusiknya, ia lantas mengubah arah bermusiknya ke arah indie folk tidak dalam format band lagi. Pada akhirnya di tahun 2008 ia dipertemukan dengan Eki Tresnowening yang merupakan vokalis dari band Stunning Bird dan sekaligus rekannya di grup keroncong binaan Jathul Sunaryo. Tak berselang lama akhirnya mereka memutuskan untuk membentuk sebuah grup musik beraliran indie folk dan band Stunning Bird adalah prototipe awal dari Silampukau.

Perjalanan karir bermusik mereka bukan tanpa hambatan. Silampukau sempat vakum beberapa tahun karena Kharis memutuskan berkarir di kantor. Memasuki tahun 2013 Silampukau kembali lagi setelah Kharis memutuskan kembali ke dunia musik dan mulai menekuni Silampukau lagi. Masa hiatus dimanfaatkan kedua personel untuk memperdalam pengetahuan bermusik sekaligus mempersiapkan album pertama mereka.

Yang menarik dari duo Silampukau adalah lirik lirik yang mereka tulis kedalam lagu mereka. Hampir semua lagu yang mereka tulis berisikan cerita tentang kota Surabaya. Dari cerita cerita sederhana di tongkrongan sehari hari hingga keadaan dan kebiasaan sosial masyarakat Surabaya. Semua dikemas unik dan jujur.

kumpulan lirik lagu Silampukau

Sampai sejauh ini Silampukau telah menelurkan 2 Album; Sementara ini dan Dosa, Kota & Kenangan. Berikut adalah kumpulan lirik lagu Silampukau yang kita dapat dari website resmi silampukau.com

AKU DUDUK MENANTI

Seperti takdir yang panjang dan pedih
dalam hidup yang muram dan letih,

aku masih di sini;
‘ku duduk menanti,

hanya menanti,
tak bergegas mencari,
hanya bersedih
dalam sunyi.

Duduk menanti dalam letih mimpi.


BALADA HARIAN

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Dering alarm.
Impian pudar perlahan. Diam-diam,
pagi tak terhindarkan.

Tik-tok jam. Kubayangkan,
hari begitu panjang.
Tik-tok jam. Lalu-lalang,
derum dan bising jalanan.
Kuberbaring, membayangkan
hari pasti ‘kan panjang.

Di luar pagar sana, kawanku,
kehidupan memanggilmu.
Tapi tahun kian kelabu.
Makna gugur satu-satu,
dari pengetahuanku,
dari seluruh pandanganku,
pendengaranku,
penilaianku.

Mentari tinggal terik bara tanpa janji.
Kota tumbuh,
kian asing, kian tak peduli;
dan kita tersisih di dunia yang ngeri,
dan tak terpahami ini.

Tik-tok jam. Dering alarm.
Pagi tak terhindarkan.
Tik-tok jam. Kini ku paham,
waktu sekedar hitungan yang melingkar,
kekal di kehampaan.

O, bocah riang di jiwaku,
di manakah dirimu?
Tahun-tahun masih menunggu,
kembalilah kepadaku.


BERBENAH

Ujung perjalanan,
terkumpul banyak cerita.
Pemberhentian susah diramalkan,
jangan sampai terlewat.

Kawan, jangan terpencar.
Ingatlah untuk bersandar.
Pemberhentian susah diramalkan,
jangan sampai terlewat.

Sudah saat berbenah.
Sampaikanlah doa.
Kuatkan kaki kencang bertahan.
Titipkan semangat pada yang telah lelah.
Tegakkan kaki yang telah tertekuk.
Ujung perjalanan.
Kita lanjutkan cerita.
Pemberhentian susah diramalkan,
jangan sampai terlewat.

Jika terpaksa pisah di tengah-tengah langkah,
selamat tinggal, semoga bahagia.

BIANGLALA

Taman Remaja Surabaya sajikan canda tepis gulana.
Oh senangnya!

Aih, ya Tuan, di sanalah hiburan murah di Surabaya.

Irama dangdut hingar berdenyut menghibur hati.
Riang beradu dengan sendu.

Aih, ya Puan, hanya di sana hiburan murah di Surabaya.

Teriak bocah di bianglala dan manis cinta
di gula-gula, ramaikan suasana.

Aih, ya Tuan, di sanalah hiburan murah di Surabaya.

Lowong antrian.
Muda-mudi bersembunyi di remang-remang.
Awas ya, itu tangan.

Aih, ya Puan, hanya di sana hiburan murah di Surabaya.


BOLA RAYA

Kami main bola di jalan raya,
beralaskan aspal, bergawang sandal.
Tak peduli ada yang mencela,
terus berlari mengejar angka.

Kami rindu lapangan yang hijau.
Harus sewa dengan harga tak terjangkau.
Tanah lapang kami berganti gedung.
Mereka ambil untung, kami yang buntung.

Kami hanya main bola,
tak pernah ganggu gedungmu.
Kami hanya main bola,
persetan dengan gedungmu.

Memang kami tak paham soal akta,
sertifikat tanah dan omong kosong lainnya.
Kami hanya ingin main bola,
zonder digugat, zonder didakwa.


CINTA ITU

Cinta bukan soal pengorbanan
dengan tulus tak terasa beban.

Biarlah yang terbaik jadi manis, dan pahit tak ‘kan jadi tangis.

Cinta memang tak perlu berbalas.
Tak usah mengemis dan memelas.
Biarlah yang terbaik jadi manis, dan pahit tak ‘kan jadi tangis.

Cinta itu buat kapan-kapan,
kala hidup tak banyak tuntutan:
biarlah yang terbaik jadi manis, dan pahit tak ‘kan jadi tangis.

DOA 1

Duh Gusti, dulu kala semasa ‘ku remaja,
“nothing else matters,” katanya Metallica.
Sebab hidup, Gusti, kadaluarsa jika
hanya berisi nasehat mama-papa.

Sering, Gusti, aku bertanya-tanya sendiri,
kenapa sih mama tenggelam di televisi,
mengunyah iklan menelan mimpi.
Sabar, mama, tunggu aku masuk ke layar tivi.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga mama belum tua saat aku mencapainya.

Duh Gusti, aku kesasar di jalur indie.
Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci.
Musisi, Gusti, musisi,
bukan jadi penjaga distro kayak gini.

Duh Gusti, pernah ‘ku mencoba peruntungan,
dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman.
Kuliah, Gusti, kutelantarkan
atas nama musik dan hidup yang penuh kebebasan.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usia belum tua saat mencapainya.

Duh Gusti, kini ‘ku mulai lelah jadi musisi.
Jiwaku remuk terteror televisi.
Aku cemas, Gusti, suatu nanti,
aku berubah murahan seperti Ahmad …

Janggalkah, Gusti, perasaan marah ini
saat nalarku direndahkan televisi?
Lihat itu, Gusti, lihat itu,
b’rapa harga tawa mereka di balik layar tivi?

Dan inilah nyanyianku.
Semoga usahaku lancar, berkembang, ber-cuan,
perlahan aku bisa mewujudkan
ziarah ke tanah suci, tanah impian.

Dan inilah nyanyianku.
Semoga terkenal, terpandang, dan banyak uang.


HEI

Hei, anak muda, teruslah berkarya.
Selagi muda taklukkanlah dunia;
dan pasti kelak tua-mu terperangkap rindu
akan cerita yang kau bagi pada anak-cucu.

Hei, kau yang muda, jadilah berguna
bagi dirimu dan sanak-saudara.
Sudahi saja pestamu dan
luangkan waktu
melakukan sesuatu
untuk masa depanmu.

Tenang saja, kamu kan hebat.
Akan terlihat jalan yang terang
di mimpi yang tak kau beli.

Hei, orang tua, jangan umbar kata.
Ingatlah bahwa kau juga pernah muda,
pernah lucu, pernah lugu, dan tak bijaksana.
Lalu, perlahan, jadi guru tanpa perlu mirip buku.

Tenang saja, kamu kan hebat.
Akan terlihat jalan yang terang
di mimpi yang tak kau beli.

LAGU RANTAU (SAMBAT OMAH)

Waktu memang jahanam,
kota kelewat kejam,
dan pekerjaan menyita harapan.

Hari-hari berulang,
diriku kian hilang.
Himpitan hutang. Tagihan awal bulan.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang!

Tujuh tahun yang lalu,
impian membawaku ke Surabaya: berharap jadi kaya.

–hanya bermodal baju dan seratus ribu, nasib ini kuadu—

Tujuh tahun berlalu,
impianku tersapu di Surabaya: gagal jadi kaya.

–kota menghisapku habis, tubuh makin tipis, dompetku kembang-kempis—

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Rindu menciptakan kampung halaman tanpa alasan.”

Burung pulang ke sarang, ketam diam di liang,
dan di lautan ikan-ikan berenang.

O, demi tuhan, atau demi setan,
sumpah aku ingin rumah untuk pulang.

“Uang bawa ‘tualang sesat di jalan, menjauhi pulang.”


MALAM JATUH DI SURABAYA

Gelanggang ganas 5:15,
di Ahmad Yani yang beringas.
Sinar kuning merkuri: pendar celaka akhir hari.
Malam jatuh di Surabaya.

Maghrib mengambang lirih dan terabaikan,
Tuhan kalah di riuh jalan.
Orkes jahanam mesin dan umpatan,
malam jatuh di Surabaya.

Selama-lamanya, di gelanggang yang sama,
malam jatuh di Surabaya.


PAGI

Saat bulan menghilang,
malam berganti pagi.
Tangan lebar merentang,
siap wujudkan mimpi.

Basuh liur di wajah,
lalu sadarkan diri.
Tegas kaki melangkah
menyapa matahari.

Siapkanlah pagi dengan senyuman.
Lekaslah berlari sebelum siang.

Agar pagi semangat,
perut butuh sarapan.
Lemper dan teh yang hangat
meminjamkan harapan.

Siapkanlah pagi dengan senyuman,
lekaslah berlari sebelum siang.

Siapkanlah pagi, sebelum siang.

PUAN KELANA

Kau putar sekali lagi Champs-Elysees.
Lidah kita bertaut a la Francais.
Langit sungguh jingga itu sore,
dan kau masih milikku.

Kita tak pernah suka air mata.
Berangkatlah sendiri ke Juanda.
Tiap kali langit meremang jingga,
aku ‘kan merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, hujan sama menakjubkannya,
di Paris atau di tiap sudut Surabaya.

Rene Descartes, Moliere, dan Maupassant.
Kau penuhi kepalaku yang kosong;
dan Perancis membuat kita sombong,
saat kau masih milikku.

Kita tetap membenci air mata.
Tiada kabar tiada berita.
Meski senja tak selalu tampak jingga,
aku terus merindukanmu.

Ah, kau Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Jauh-jauh Puan kembara,
sedang dunia punya luka yang sama.

Mari, Puan Kelana,
jangan tinggalkan hamba.
Toh, anggur sama memabukkannya,
entah Merlot entah Cap Orang Tua .

Aih, Puan Kelana,
mengapa musti ke sana?
Paris pun penuh mara bahaya dan duka nestapa,
seperti Surabaya.


SAMPAI JUMPA

Kuharap malam ini indah bagi kita,
kuharap besok-besok tak kalah indahnya,
kuharap akhir kita bukanlah di sini.

Semoga detik ini mengendap selamanya,
semoga rindu tak membebani kita,
semoga.

Sampai jumpa. Sampai jumpa lagi.
Saat bertemu di lain waktu,
sampaikan salam, lambaikan tangan.
Saat bertemu di lain waktu,
senyum yang baru kita ciptakan.

Semoga tak ada salah-salah kata,
semoga kami berkenan di hati anda,
semoga.

Sampai jumpa. Sampai jumpa lagi.

SANG JURAGAN

Hidup ini memang keras,
apa salahnya ‘ku jual miras?

Anggur, vodka, arak beras,
dijamin murni tanpa potas.”

Datang kapan saja silahkan.
Siang-malam tak usah sungkan.
Sekali siul dua ketukan,
biar ‘ku tahu pasti itu pelanggan.

Sekali waktu datang mereka yang berseragam.
Turun dari mobil, pasang tampang sok seram.
Sedikit bangkrut aku tiap mereka datang,
yang penting bisnis aman.

Dari sungai yang berkarat,
susuri arah menuju barat.
Di seberang kantor wakil rakyat,
di sanalah aku bertempat.

Kadang datang juga mereka yang terpinggirkan;
wajah kurang makan, ngotot beli minuman.
Tak habis pikir aku tiap mereka datang.
Ya sudahlah, silahkan!

Hidup ini tambah keras
semenjak naiknya harga miras:
anggur, vodka, arak beras,
lebih hemat campur potas.


SI PELANGGAN

Dolly, yang menyala-nyala di puncak kota,
yang sembunyi di sudut jalang jiwa
pria Surabaya.

Dulu, di temaram jambon gang sempit itu,
aku mursal masuk, keluar, dan utuh
sebagai lelaki.

Di dasar kerat-kerat bir
yang kutenggak dalam kafir,
di ujung ceracau malam yang lingsir,
di dengung hambar aspal yang terus bergulir,
di lubang-lubang nyinyir ranjang matrimoni,
kupertanyakan nasibmu Dolly, oh Dolly.

Dolly, suaka bagi hati yang terluka
oleh cinta, oleh seluruh nelangsa
hidup yang celaka.

Dolly, tempat mentari sengaja ditunda,
di mana cinta tak musti merana
dan banyak biaya.

Di dasar kerat-kerat bir
yang kutenggak dalam kafir,
di ujung ceracau malam yang lingsir,
di detik lamban takdir yang terus bergulir,
di buah-buah kisut ladang matrimoni,
kucari-cari kabarmu Dolly, oh Dolly.

Meski beritamu kini sedang tak pasti,
yakinlah,
pelacur dan mucikari ‘kan hidup abadi.

Di dasar kerat-kerat bir
yang kutenggak dalam kafir,
di ujung ceracau malam yang lingsir,
di jenuh rutin hari yang terus bergulir,
di celah-celah renggang sumpah matrimoni,
aku panggil-panggil namamu: Dolly, Dolly, Dolly.



Posting Komentar

Berkomentarlah dengan bijak!
Karena kedewasaan tercermin dari apa yang keluar dari mulut dan perilaku.
Termasuk juga jempol saktimu
© Lifestyle. All rights reserved. Developed by Jago Desain