Sejarah pertikaian di tanah Yerusalem bukanlah
sejarah yang terbentuk dalam hitungan setahun dua tahun. Pertikaian telah
terbentuk ribuan tahun yang lalu bahkan sebelum era masehi. Semenjak era raja
Nebukadnezar hingga perang salib, silih berganti bangsa-bangsa memperebutkan
tanah ini. Era perang salib berakhir, berganti era penguasaan Ottoman hingga
menyerah kepada bangsa Inggris di masa perang dunia 1. Di titik ini pertikaian
memasuki era modern.
Konflik berkepanjangan yang terjadi membuat sejarah
perebutan tanah Yerusalem kian keruh, mengendap dan membentuk delta-delta
kebencian. Bangsa yang terlibat konflik berusaha menegakkan ideologi dengan
saling merebut kuasa penuh atas tanah Yerusalem. Mereka bersitegang saling
berperang habis habisan. Lantas, semenarik apa tanah Yerusalem hingga diperebutkan
sedemikian rupa?
Baik menurut umat muslim, kristiani, yahudi, Yerusalem
adalah tanah yang suci. Di tempat ini,
berdiri 3 situs suci bagi setiap agama. Masjid Al Aqsa, Makam Kudus, Tembok Ratapan
masing masing berdiri berdampingan. Umat Islam percaya Masjid Al Aqsa adalah
salah satu tempat singgah dimana nabi Muhammad melaksanakan isra’ mi’raj. Umat
kristiani percaya bahwa di situs Gereja Makam Kudus adalah tempat Yesus di salibkan
dan di bangkitkan. Umat yahudi meyakini bahwa Tembok Ratapan adalah sisa puing
dinding bait suci dimana di dalamnya terdapat tempat maha kudus yang mereka
yakini sebagai tempat Abraham siap mengorbankan anak anaknya.
Ironi memang, sebuah tanah yang di ‘suci’ kan
tetapi malah menjadi arena pertikaian. Dalam bahasa apapun, makna suci adalah
bebas dari najis dan dosa, serta keramat. Sementara pertikaian bukanlah salah
satu dari syarat suci tersebut. Pertikaian jauh dari kata suci, bahkan
melanggar norma norma ke’suci’an. Lantas mengapa pertikaian bahkan pertumpahan
darah masih saja lestari di tanah Yerusalem?
Bukan masalah umat Islam, Kristen, maupun Yahudi
tidak paham tentang standar ke’suci’an. Mereka sangat menjunjung tinggi
kesucian situs keagamaan masing masing. Bahkan mereka mengelola situs keagamaan
dengan baik. Tetapi yang menjadi akar permasalahannya adalah mereka percaya
dengan ideologi yang telah ditanamkan selama ribuan tahun oleh leluhur mereka.
Ideologi untuk menguasai tanah keramat Yerusalem sepenuhnya.
Sejarah pertikaian di tanah Yerusalem tak pernah lepas
dari sejarah agama Abrahamik. Masing masing kitab menubuatkan perintah yang
sama terhadap tanah keramat Yerusalem. Lantas apakah pantas jika agama
dijadikan tedeng aling-aling pertikaian berkepanjangan?
Saya yakin dan percaya bahwasanya setiap agama
apapun di dunia ini berisikan ajaran tentang kasih sayang dan mencintai sesama.
Bukan hanya umat sesama agama, tetapi keseluruhan makhluk yang hidup di dunia.
Agama hadir sebagai pengarah jalan hidup yang sesuai dengan nilai-nilai moral
kehidupan yang harmonis, tentram, dan penuh cinta. Sudah sepantasnya jika
sesama umat beragama hidup dalam keharmonisan. Pertikaian, pertumpahan darah,
penghancuran gedung-gedung tak pernah menjadi alat penyelesai masalah yang
baik. Mereka akan menimbulkan dendam berkepanjangan. Dendam yang tertanam akan
memberikan alasan untuk saling menghancurkan di kemudian hari.
Pertikaian dan pertumpahan darah dengan alasan
apapun tidak dapat diterima. Pembunuhan tidak pernah bisa dibenarkan dengan
alasan apapun. Peri kemanusiaan harus ditegakkan diatas segala alasan yang
mendasari kekerasan. Sudah sewajarnya kita sebagai manusia menghargai hidup
sesama manusia lainnya. Tanpa penindasan dan kekerasan. Atas nama kemanusiaan,
bentuk kekerasan apapun harus segera dihentikan. Termasuk yang tengah terjadi
di tanah Palestina.