photo by xframe.io |
Buruh adalah bagian penting dari berkembangnya era
industrialisasi. Buruh memegang peranan penting dalam sistem pergerakan tubuh
modernisasi industri, mengisi setiap sendi gerak produksi. Era industri tanpa
kehadiran buruh akan mati.
Sejarah awal berkembangnya era industrialisasi dimulai pada masa awal abad 19. Dimana setiap negara modern menerapkan sistem kerja yang efisien dan terkoordinasi. Mereka berlomba menciptakan sistem kerja yang berorientasi pada hasil produksi.
Di rentang masa inilah budaya kerja yang
mengeksploitasi buruh kian menjadi. Bisa dibayangkan, setiap buruh diharuskan
bekerja lebih dari 12 jam sehari. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim 20 jam
sehari. Dengan waktu kerja yang sangat tinggi, tingkat kesengsaraan buruh
melonjak tinggi.
Berkaca dari kasus ini, sekelompok pekerja dari
Amerika Serikat mendeklarasikan tuntutan jam kerja yang lebih manusiawi; 8 jam
kerja 8 jam istirahat 8 jam rekreasi. Mereka berdemo di sepanjang bulan Mei.
Berdiskusi dengan para pemilik modal inti.
Bukan perkara mudah menyuarakan hak buruh di sebuah negara yang berhaluan kapitalis. Beragam intervensi menekan keinginan buruh dalam menuangkan aspirasi. Serangkaian demo yang bermula damai beranjak brutal.
Beberapa nyawa terpaksa melayang dalam upaya penyampaian aspirasi. Hasilnya,
memantik gelombang-gelombang besar demonstrasi. Persatuan buruh dari penjuru Amerika
mulai terbentuk bersatu padu menyuarakan tuntutan yang memaksa pemilik modal
dan pemangku pemerintahan mengabulkan tuntutan kaum buruh.
Dukungan yang lebih besar mengalir. Negara-negara
industri modern mulai menggaungkan tuntutan yang sama. Organisasi buruh lintas
negara memaksa pemerintah mengaplikasikan sistem kerja yang lebih berorientasi
kepada buruh. Dan puncaknya, penetapan tanggal 1 Mei sebagai hari perjuangan
buruh Internasional.
Sejarah perjuangan buruh tak pernah kehilangan keperkasaannya. Hal ini tercatat pula dalam sejarah perjuangan buruh di Indonesia yang lambat laun membentuk pegerakan-pergerakan yang pro terhadap buruh. Organisasi besar seperti SPSI, SBSI, FSPMI bergerak secara legal memberikan payung hukum terhadap kaum buruh.
Hingga lapisan terkecil, para aktifis yang merasa perlu
membela hak buruh turut serta menggerakkan sendi-sendi perlawanan. Tercatat
Wiji Thukul, Marsinah, Muchtar Pakpakah, Agus Sudono memiliki andil besar dalam
sejarah perlawanan kaum buruh secara progresif. Mereka berjuang menggerakkan
massa melawan ketidak-adilan yang menggerogoti.
Akan tetapi, sejarah perlawanan kaum buruh tak
pernah semulus slip gaji. Mereka harus siap dengan tekanan dari aparat maupun
pemilik modal. Mereka harus siap menerima intimidasi dan kekerasan fisik yang
terus menerus. Bahkan, penculikan dan pembunuhan tak terelakkan lagi.
Wiji thukul dan Marsinah adalah korban dari sikap
lantang memperjuangkan hak buruh. Sampai sekarang nasib Wiji Thukul tak tau
rimbanya, entah hidup atau mati. Ia menghilang sejak kerusuhan ’98 Juli.
Sementara Marsinah ditemukan terbunuh nun jauh di sebuah hutan di daerah Nganjuk
dengan bekas luka yang mengiris hati. Bahkan, hingga saat ini kasus Marsinah
tak pernah di angkat lagi.
Ironi memang melihat sejarah perlawanan buruh.
Mereka memperjuangkan hak yang mereka anggap milik mereka tetapi malah di sapu
si Tangan Besi. Mereka dilenyapkan untuk meredam keran-keran perlawanan yang
lebih besar. Mereka di bunuh, di culik, dan di adili.
Sejatinya, hubungan antara buruh dan pemilik modal adalah satu kesatuan. Mereka layaknya sebuah tubuh yang saling melengkapi. Pemilik modal membutuhkan buruh untuk menggerakkan roda industri. Sementara, buruh membutuhkan pemilik modal untuk membuka lapangan-lapangan pekerjaan yang nantinya dapat menjadi sumber penghasilan. Mereka saling terikat dan tak terpisahkan.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, buruh berperan penting dalam berjalannya proses industri, sementara pemilik modal berperan penting dalam terciptanya proses industri.
Demi keberlangsungan ekosistem industri, dibutuhkan pembaharuan sistem yang lebih mengedepankan kestabilan jangka panjang. Bukan saling menyalahkan atau menghakimi. Sudah sepantasnya, antara pemilik modal dan kaum buruh perlu duduk sambil ngopi supaya beban mereka sampai dari hati ke hati.
Baca juga: ramadhan dan candunya